Kita mengenal Abraham sebagai bapa orang beriman. Besarnya iman Abraham tidak kita ragukan
lagi. Abraham terkenal karena taat dan beriman kepada Tuhan yang telah memanggil dia pergi dari
kampung halamannya menuju sebuah tempat yang belum diketahui. Iman Abraham juga terbukti
ketika dia dengan taat (hampir) mempersembahkan anaknya, Ishak, di atas mezbah.
Cerita tentang hamba Abraham adalah cerita tentang iman yang sering terlewatkan. Bayangkan, pada saat itu, dia disuruh tuannya untuk pergi ke Aram-Mesopotamia, ke kota Nahor, yang berjarak 835 km dari tanah Negeb, tempat Abraham pada saat itu tinggal, untuk mencarikan jodoh bagi Ishak. Alkitab mencatat bahwa dia membawa beberapa unta. Sepertinya perjalanan akan dilakukan dengan naik unta dan jalan kaki, mengingat kondisi jalan masa itu yang jauh lebih sulit. Penunggang harus turun ketika jalan terlalu menanjak. Jarak seperti itu biasanya ditempuh selama 21 hari dengan kecepatan jalan kaki. Jika kita bandingkan dengan jarak antar kota di Jawa, perjalanan hamba Abraham ini kira-kira seperti perjalanan jalan kaki (atau dengan unta) dari Jakarta ke Surabaya.
Lebih hebatnya lagi, pada saat itu, Abraham tidak memberikan alamat lengkap Ribka. Hamba itu pergi dengan modal iman Abraham bahwa seorang malaikat yang diutus Tuhan akan membawa jalan. Abraham juga belum membuat janji dengan pihak keluarganya dan memberitahukan kepada mereka bahwa hambanya akan datang untuk mencarikan jodoh untuk Ishak.
Apa yang akan kita pikirkan jika kita disuruh berjalan kaki (boleh naik unta) ke Surabaya untuk mencari orang tanpa ada alamat lengkap? Mungkin dalam hati kita akan mengeluh dan mengumpat perintah itu. Akan tetapi, hamba Abraham pergi dengan hati seorang hamba, dan inilah pikirannya dalam hati, “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham.”
Ketaatan hamba Abraham adalah hal yang sangat indah yang dapat kita pelajari. Ketaatan itu adalah pancaran dari hati seorang hamba. Apakah kita mempunyai hati seorang hamba di hadapan Tuhan? Atau hati seorang tuan?
Cerita tentang hamba Abraham adalah cerita tentang iman yang sering terlewatkan. Bayangkan, pada saat itu, dia disuruh tuannya untuk pergi ke Aram-Mesopotamia, ke kota Nahor, yang berjarak 835 km dari tanah Negeb, tempat Abraham pada saat itu tinggal, untuk mencarikan jodoh bagi Ishak. Alkitab mencatat bahwa dia membawa beberapa unta. Sepertinya perjalanan akan dilakukan dengan naik unta dan jalan kaki, mengingat kondisi jalan masa itu yang jauh lebih sulit. Penunggang harus turun ketika jalan terlalu menanjak. Jarak seperti itu biasanya ditempuh selama 21 hari dengan kecepatan jalan kaki. Jika kita bandingkan dengan jarak antar kota di Jawa, perjalanan hamba Abraham ini kira-kira seperti perjalanan jalan kaki (atau dengan unta) dari Jakarta ke Surabaya.
Lebih hebatnya lagi, pada saat itu, Abraham tidak memberikan alamat lengkap Ribka. Hamba itu pergi dengan modal iman Abraham bahwa seorang malaikat yang diutus Tuhan akan membawa jalan. Abraham juga belum membuat janji dengan pihak keluarganya dan memberitahukan kepada mereka bahwa hambanya akan datang untuk mencarikan jodoh untuk Ishak.
Apa yang akan kita pikirkan jika kita disuruh berjalan kaki (boleh naik unta) ke Surabaya untuk mencari orang tanpa ada alamat lengkap? Mungkin dalam hati kita akan mengeluh dan mengumpat perintah itu. Akan tetapi, hamba Abraham pergi dengan hati seorang hamba, dan inilah pikirannya dalam hati, “TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham.”
Ketaatan hamba Abraham adalah hal yang sangat indah yang dapat kita pelajari. Ketaatan itu adalah pancaran dari hati seorang hamba. Apakah kita mempunyai hati seorang hamba di hadapan Tuhan? Atau hati seorang tuan?
0 comments:
Post a Comment